Rabu, 15 Januari 2014

Chapter 3

Diposting oleh My diary di 17.48 0 komentar
Tio mengendap-endap mengikuti Rahma yang berjalan di depannya dengan khawatir. Bagaimana tidak, Rahma baru saja mendapati salah satu mahasiswa KKN itu menggoda suaminya. Dengan cepat dan tergesa-gesa Rahma menggandeng Genzo masuk ke rumah. Tio berjongkok di bawah jendela kamar tamu yang sekarang di tempati Rahma dan suaminya saat menginap di rumah neneknya ini. Dengan hati-hati ia memasang telinga. Jaga-jaga kalau mereka ternyata bertengkar hebat dan Rahma tidak dapat menahan emosinya. Ia takut kalau suaminya akan bertindak kasar padanya, mengingat sifat keras kepala Rahma dan seringnya ia membentak-bentak saat marah. Pernah sekali Tio kena marah akibat teledor lupa mengurung kambingnya saat hujan deras dan saat itu Rahma sempat berteriak-teriak sampai menyiutkan nyalinya. Kali ini Tio sedikit kesal karena tidak bisa melihat apa yang mereka lakukan, tapi setidaknya dari sini dia bisa mendengar suara mereka dengan jelas.
“Kita pulang sekarang juga!”
“Kenapa terburu-buru sayang, kita masih punya 2 hari lagi untuk menginap” Genzo menatap cemas istrinya yang tiba-tiba memutuskan untuk mengemasi pakaian dan pulang lebih awal.
“Oh ya, 2 hari lagi untuk perempuan itu merayumu sepuas hati tanpa ketahuan oleh ku”
“Kau cemburu sayang?” Genzo bertanya dengan nada menggoda sambil menunduk dan menatap lurus-lurus mata istrinya yang sibuk memasukkan pakaian kotor ke dalam tas ranselnya. Ia tahu kelemahan Rahma saat mereka mulai bertengkar karena hal-hal sepele seperti ini. Sebuah pelukan hangat dan ciuman mesra akan membantunya mendinginkan kepala “Yuri chan sayang?”
“Bukan urusanmu” Alih-alih membalas pelukannya, Rahma malah menepis tangan suaminya.
“Tentu saja itu urusanku, kalau yang membuat mu emosi saat ini adalah karena perbuatanku. Sekarang jelaskan baik-baik bagian mana dari peristiwa tadi yang membuatmu cemburu”
“Apa masih perlu ku jelaskan?! Dia berusaha mendekatimu dan mengajak bicara di tempat sepi. Berdua saja! Tatapan matanya, suaranya yang mendayu-dayu, tangannya yang gatal ingin menggandengmu. Kau pikir aku kurang cerdas untuk menilai dia menginginkanmu!” bentak Rahma pada suaminya, emosinya mulai memuncak sejak peristiwa tadi sore. Dan sekarang ia ingin melampiaskan semuanya.
“Dia tahu kalau aku sudah menikah”
“Dan dia juga tahu kalau pria bisa beristri lebih dari satu”
“Demi Tuhan, Yuri chan. Aku sama sekali tidak tertarik padanya. Dia hanya mahasiswa yang penuh rasa ingin tahu” Kali ini Genzo berhasil menjinakkan istrinya. Ia merangkul pinggulnya dan mendudukannya di pinggiran ranjang. Sekarang mereka duduk berhadapan, saling menatap satu sama lain.
“Oh ya tentu. Kuingatkan lagi padamu. Dulu aku juga cuma mahasiswa yang penuh rasa ingin tahu. Dan akhirnya kau jatuh cinta padaku kan?”
Genzo tersenyum geli mendengar pernyataan istrinya “Memang, aku jatuh cinta padamu, lebih dari itu aku tergila-gila padamu.Tapi perlu ku ingatkan juga, saat itu aku belum memiliki siapa-siapa. Sekarang aku punya kau Yuri chan sayang. Semuanya tidak lagi sama saat aku memilikmu. Semua wanita jadi tidak terlihat, bagiku mereka tidak ada” Genzo mencium buku-buku jari Rahma dengan lembut. “Aku berterima kasih pada orang tuamu karena telah melahirkan dan menjaga seorang bidadari untuk ku miliki seutuhnya”
“Sekarang kau pintar merayu ya? Siapa yang mengajarimu?”
“Oniisan. Itu bagian dari pelajaran How-to-act-Indonesian yang diajarkannya” jawab Genzo terkekeh-kekeh yang tanpa sengaja menyebabkan istrinya mau tidak mau juga ikut tersenyum.
Mas Aris. Awas kau! Dalam hati Rahma mengutuk kakaknya yang suka mengajari suaminya hal-hal aneh seperti merayu, menggombal dan berkata-kata manis ala Indonesia lainnya. Tapi di akui atau tidak kata-kata barusan berhasil menyentuh hatinya dan meluruhkan semua emosinya saat ini.
“Sekarang kau boleh menghukumku atas keteledoranku yang membuatmu cemburu. Tapi asal kau tahu, setelah semua hukuman yang kuterima aku masih tetap mencintaimu, dan akan tetap mencintaimu Yuri chan”
“Kalau aku meninggalkanmu?”
“Setega itu kah kau padaku?” Genzo menatap lekat-lekat istrinya, dan bertanya-tanya apakah ia serius dengan ucapannya.
“Ya! Dan sekarang aku akan pergi meninggalkanmu. Aku akan meninggalkanmu untuk pergi tidur lebih awal. Selamat malam Genzo san!” Rahma memicingkan mata menatap suaminya. Lalu secepat kilat dia membaringkan diri di ranjang, memiringkan badan dan menarik selimutnya ke atas agar suaminya tidak dapat membaca ekspresi gelinya menahan tawa.
Dan sekali lagi Genzo tersenyum melihat kelakuan istrinya yang sulit ditebak. Dengan sekali gerakan ia membaringkan diri mengikuti istrinya dan memeluknya erat dari belakang sambil berbisik “Aku mencintaimu Yuri chan, aku mencintaimu”
Tio tidak dapat mengerti semua yang di ucapakan Rahma dan suaminya karena mereka mengucapkannya dalam bahasa Jepang. Tapi ia sempat mendengar satu kalimat yang ia mengerti, dan sebagian besar orang yang mengikuti perkembangan dunia sepertinya juga paham. Kalimat itu begitu menusuk hatinya sekaligus membuatnya lega. Ia lega karena telah melepas orang yang ia cintai kepada lelaki yang juga mencintainya. Dengan begitu ia percaya Rahma akan bahagia karena ia berada di tangan yang tepat.
“Aishiteru Yuri chan, aishiteru”

Selasa, 14 Januari 2014

Chapter 1

Diposting oleh My diary di 21.57 0 komentar
Pagi ini cuaca cerah, terik matahari menyengat seperti biasa. Tapi berhubung ini desa yang letaknya masih cukup jauh dengan pusat kota, hawa sejuk pepohonan masih bisa dirasakan. Udara juga tergolong bersih dan segar. Tio melakukan aktivitas seperti biasa, bekerja mencari nafkah untuk dirinya dan mengisi pundi-pundi tabungannya. Tidak seperti pria muda kebanyakan, Tio tidak bekerja di kantor. Alih-alih meletakkan surat lamaran di perusahaan, dia malah menjadi peternak. Sebenarnya dia hanyalah penggembala kambing, masih sama seperti saat dia masih anak-anak dulu, meskipun kini usianya sudah menginjak 27 tahun. Dan kini kambing-kambing itu tengah berdesakan menunggu giliran untuk di buka pintu kandangnya. Kemudian setelah Tio berhasil membuka gemboknya, kambing-kambing itu berlarian menuju padang rumput dan merumput dengan bebas di sana.
“Mas Tio!” suara panggilan itu terdengar begitu akrab di telinga Tio. Dia sudah mendengarnya setidaknya selama belasan tahun belakangan, meskipun hanya sesekali waktu dalam sebulan ia dapat berjumpa dengannya.
“Lho mbak Rahma” Tio menoleh ke belakang dan melihat kedatangan sesosok perempuan yang memanggilnya itu dengan antusias.
Perempuan itu masih muda, baru lulus kuliah beberapa bulan yang lalu. Meskipun usianya di bawah Tio namun bagaimanapun juga Rahma adalah bosnya. Ya, perempuan itulah yang memberikannya pekerjaan. Kambing-kambing ini adalah miliknya, yang di percayakan kepada Tio untuk digembalakan. Dengan sistem bagi hasil, Tio berhasil mengembangkan bisnis ini dengan luar biasa cepatnya. Uang di tabungannya pun tidak boleh dianggap remeh, bisa untuk membeli mobil atau rumah sederhana. Meski begitu ia tetap Tio yang dulu, lelaki sederhana khas penggembala desa dengan pakaian yang itu-itu saja. Dalam hati ia masih mengagumi Rahma, gadis kecil yang waktu itu datang menemuinya sambil menuntun seekor kambing betina.
“Mas yang biasa gembalain kambing di lapangan itu kan?”
“Iya, kenapa dek?”
“Bisa minta tolong nggak, jagain kambingku. Rahma mau pulang ke Surabaya. Nanti kalau kambingnya punya anak telpon aku ya. Ini nomer rumahku”
Ingatan Tio kembali ke masa lalu, dimana pertemuan pertamanya dengan Rahma 12 tahun yang lalu. Masih jelas dalam ingatannya bagaimana gadis lugu tapi cerdas itu tidak segan-segan mempercayakan kambingnya padanya. Dia bercerita bahwa kambing itu dibelinya dengan uang saku hari raya yang di dapat saat berkunjung ke rumah neneknya. Nenek Rahma adalah tetangga Tio, seorang wanita tua yang ramah dan suka membantu keluarganya. Tio yang saat itu masih berstatus sebagai bocah miskin tanpa ayah, tentu menyetujui permintaan Rahma dengan senang hati, sambil membayangkan keuntungan yang di dapat dari pekerjaannya menggembala kambing.
“Nanti kalau punya anak 2 kita bagi. Satu buat aku, satu buat mas Tio. Kalau anaknya cuma satu kita jual trus uangnya kita bagi. Kambingnya di kandangin malam hari aja, kalo siang biarin nyari rumput sendiri. Biar mas Tio nggak repot. Wah nggak sabar lihat kambingku jadi banyak” ujar Rahma berapi-api. Inilah salah satu mengapa Tio sangat mengagumi gadis ini. Di saat anak-anak lain menghabiskan uang lebaran mereka dengan membeli mainan dan pakaian baru, Rahma malah menukarnya dengan seekor kambing betina. Tentu itu bukan hal yang biasa untuk anak umur 10 tahun yang bisa terpikir untuk menanam investasi dengan cara membeli kambing, dengan harapan kambingnya akan beranak pinak.
Dan ambisi itu seiring berjalannya waktu benar-benar menjadi kenyataan. Tanpa perlu membeli pejantan, kambing betina itu hamil dengan salah satu kambing lain yang biasa digembalakan di tempat yang sama. Anak  pertama mereka 2 ekor, semuanya betina. Sesuai dengan instruksi Rahma, maka yang seekor adalah milik Tio. Tentu saja Tio sangat senang memiliki anak kambing sendiri. Bukan kambing milik orang lain yang biasa ia gembalakan. Rahma juga menginstruksikan padanya untuk hanya menjual kambingnya yang jantan. Dan jadilah kambing-kambing itu berlipat ganda. Dua, sepuluh, lima puluh, ratusan dan terus berkembang, meskipun kambing-kambing itu juga di perjual belikan. Namun seperti laju air yang tak dapat di bendung, kambing-kambing itu terus bertambah banyak. Memberi harapan bagi Tio untuk menatap masa depannya. Uang yang di dapatkan dari hasil penjualan kambing miliknya digunakan untuk meneruskan sekolahnya yang sempat putus di tengah jalan. Dan yang lebih mengagumkan lagi, bukan hanya Tio yang terbantu dengan bisnis ternak kambing ini. Rahma merekrut beberapa orang lagi untuk merawat kambingnya yang semakin banyak, bahkan sengaja membeli lahan kosong untuk di jadikan tempat penggembalaan. Itu semua dilakukannya saat usianya baru menginjak 20 tahun. Bayangkan, di usia semuda itu dia telah memiliki ratusan juta rupiah di rekeningnya, yang semula hanya berawal dari seekor kambing, tanpa sedikitpun merepotkan kedua orang taunya. Hanya bermodalkan kejujuran dan ketegasannya dalam mengambil keputusan. Rahma bahkan hanya sempat menengok sebulan sekali untuk memastikan ternaknya baik-baik saja. Biasanya ia datang bersama kakak lekakinya yang 8 tahun lebih tua. Namun saat ini ia tidak datang bersama kakaknya, melainkan seorang pria berwajah khas Asia timur. Tubuhnya tinggi, tidak terlalu besar tapi tidak kurus juga. Pria itu menggandeng tangannya dan datang mendekati Tio yang sedang sibuk memulai harinya di kandang kambing.
“Mas Tio, kenalin ini suamiku”
Tio menyalami pria itu, dan pria itupun tersenyum. Senyumnya tulus dan ramah, pikirnya. Pria ini, yang telah menyadarkan Tio pada kenyataan. Bahwa selamanya ia hanya bisa mengagumi Rahma sebagai atasannya, orang yang banyak membantunya. Bukan wanita yang ia cintai, meskipun tak dapat di sangkal bahwa Rahma adalah cinta pertamanya.
“Oo, jadi ini tho oleh-oleh dari Jepang. Kok tumben ikut ke sini mbak? Pasti mau nengokin mbah ya” Tio bertanya pada Rahma sambil menatap pria tersebut khawatir. Kalau-kalau lantai kandang ini mengotori sepatu kets yang di pakainya, atau rumput pakan kambing itu menempel di celana jeans atau kaos polonya yang terlihat bersih dan rapi.
“Iya, kangen sama mbah. Sekalian mau keliling tetangga buat pamer ini nih” Rahma melingkarkan tangannya pada lengan pria yang berdiri di sampingnya, sambil tertawa kecil.
Hal ini membuat Tio sedikit cemburu melihat Rahma menggandeng suaminya dengan mesra. Tapi ah, siapa Tio. Dia bukan siapa-siapa, dia hanya orang kepercayaannya untuk mengurus ternak, pikirnya dalam hati.
“Dia juga belum pernah liat kambing-kambing ku, jadi ku ajak ke sini. Biar tau kalo istrinya suka main sama kambing”
“Wah mbak Rahma ini bisa aja. Tapi biar main sama kambing kan mbak tetep cantik dan wangi” Tio memuji Rahma tulus tanpa bermaksud menggodanya. Rahma memang sosok wanita yang cantik, bukan hanya menurutnya, tapi sebagian besar laki-laki normal yang sudah dewasa pasti akan setuju kalau Rahma memiliki wajah menarik seperti bintang Bollywood. Dengan kulit coklat sawo matang, alis tebal, hidung mancung, mata lebar dan lesung pipit di pipinya lelaki manapun pasti akan menoleh dua kali saat berpapasan dengannya.
Tanpa di sangka suami Rahma ikut tersenyum mendengar pujian Tio sampai matanya menyipit. Tio sadar bahwa pria ini mungkin bisa berbahasa Indonesia, jadi dia tidak boleh berkata sembarangan. Takut-takut kalau dia cemburu.   
“Sayang mau pilih yang mana?” Tanya Rahma
“Hmmm yang mana ya” Genzo Takahashi, suami Rahma menatap kawanan kambing yang baru saja di lepas Tio ke padang rumput dengan bingung “Kamu saja yang pilihkan, aku nggak pernah berteman sama kambing jadi aku nggak tahu mana yang enak buat di makan”
Dugaan Tio benar, pria ini bisa berbahasa Indonesia, dan lancar.
“Makanya sekali-kali bantu kakek Takahashi di sawah” sahut Rahma ketus
“Tapi kakek nggak pelihara kambing”
“Makanya suruh pelihara”
“Kenapa nggak kamu saja yang bilang sayang. Kan kamu cucu kesayangannya” Genzo tersenyum sambil menjetikkan jarinya ke dagu Rahma, membuatnya mendongak sekilas.
Rahma mendengus. Pura-pura kesal pada suaminya yang menggodanya, pandangannya kini beralih ke Tio.
“Mas Tio, bisa minta tolong pilihkan satu kambing jantan yang sehat dan siap disembelih?”
“Sekarang? Buat apa mbak?” tanya Tio
“Ini ada Rikugun yang ngidam pengen makan sate kambing” kata Rahma sambil menyikut lengan suaminya.
“Hei, aku kan bukan tentara kaisar. Itu almarhum kakek. Enak saja”
“Kakek mu menjajah negeriku. Tapi cucunya menjajah hatiku.” Rahma tersenyum geli saat berlari meninggalkan suaminya yang masih tertegun. Tak lama kemudian suaminya ikut berlari mengejarnya sambil tertawa.
“Jangan lupa ya mas Tio, nanti kalau sudah sampean bawa ke warungnya mbak Santi buat di masak. Makasih yaaa” Rahma berteriak dari kejauhan, berlalu sambil melambaikan tangannya. Dan Tio hanya bisa tersenyum dan membalas lambaian tangan itu.
Aku akan menuruti keinginanmu dengan senang hati Rahma, meskipun itu untuk menyenangkan suamimu. Perintahmu adalah tugasku, pria yang selamanya akan menjadi bawahanmu, Gumam Tio dalam hati, miris. Dan kini ia akan menjalankan tugas yang di berikan padanya, mencari kambing jantan yang sehat dan membawanya ke tukang potong hewan.
 

♥ Baineth's diary Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea