Monique, sang resepsionis berambut
merah itu membungkuk sesaat sebelum meninggalkan ruangan, meninggalkan Claire
berdua dengan atasannya yang arogan dan tak tahu sopan santun. Bagaimana tidak,
pria ini tidak mengucapkan terima kasih kepada resepsionisnya tersebut, bahkan
tidak menoleh sedikitpun dan memutar kursinya untuk memandangi wajahnya.
“Apa kau tahu kenapa aku
memanggilmu kemari?” Tanya pria itu dingin
Dengan segala keberanian yang
dimiliki Claire, ia menjawab “Sejujurnya saya kurang mengerti, tetapi dari
pesan yang saya terima, saya harus menghadap anda untuk melakukan wawancara
kenaikan pangkat”
“Ya, kau benar. Sekarang katakan
padaku jabatan apa yang kau inginkan?” Pria itu masih dalam posisi yang sama,
membiarkan Claire berbicara dengan punggungnya yang menempel pada sandaran
kursi putarnya yang besar. “Kalau kukatakan kau akan bekerja mendampingiku
kemana pun aku pergi sebagai sekretaris pribadi, apa kau menerimanya?” sambungnya
saat Claire tidak menjawab pertanyaannya.
“Saya yakin anda tidak benar-benar
menginginkan saya sebagai sekretaris pribadi. Sebaiknya anda berikan penawaran
ini pada orang lain yang lebih membutuhkan” Claire mendengus kesal, menilai ada
kekurang ajaran dari tawaran atasannya “Permisi”
“Tunggu” Pria itu berkata sambil
bangkit dari duduknya dan memutar ke arah Claire. memberi kesempatan pada
Claire untuk memandangi wajahnya.
“Lee?” Claire menjerit.
Di luar dugaannya, pria tersebut,
tuan Lee, tersenyum hangat, berbeda jauh dari kata-kata dingin yang baru saja
dilontarkannya. “Claire” sapanya lembut.
Claire tertegun sejenak melihat
senyum tulus yang mengembang saat pria itu menggumamkan namanya. “Sudah kuduga
kau masih ingat padaku” gumam Lee. Tatapannya lurus ke mata coklat Claire,
mencari-cari secercah harapan, kalau-kalau kepingan hatinya yang telah lama
hilang masih tertancap kuat di sana.
Aku
tidak akan pernah melupakanmu! Jerit
Claire dalam hati. Ia membalas tatapan Lee dengan hati-hati, mencari beribu
alasan untuk tidak mengagumi mata abu-abu yang pernah membuatnya percaya.
“Bagaimana kabarmu?” Tanya Lee,
berusaha mencairkan suasana.
“Baik” sahut Claire singkat
dengan ekspresi datar dan tak terbaca “Kau sendiri?”
“Lelah menunggu seseorang, tapi
aku baik-baik saja”
Claire tercenung sesaat,
tiba-tiba bayangan masa lalu menghampirinya, membuatnya pucat dan menggigil. Ia
menarik nafas panjang, mencoba mengusir bayangan itu, namun gagal. Dengan
segala tekat ia memutuskan untuk bangkit dan meninggalkan ruangan itu.
Lee yang melihat ketakutan dan
kebencian di mata Claire berusaha mencegahnya pergi dari ruangannya. Ia
menggamit sebelah lengan Claire, membuat Claire menoleh dan menepis tangannya
dengan kasar.
Claire menatap Lee dengan penuh
emosi, membuat Lee berjingkat mundur selangkah “Saya masih memiliki banyak
pekerjaan Tuan Lee” gumamnya tajam “Dan tempat saya bukan di sini” Claire
berlalu dengan cepat, meninggalkan Lee yang sengaja melepasnya.
***
10 tahun yang lalu
10 tahun yang lalu
“Kau dimana?” Tanya Claire setengah
panik melalui ponselnya
“Aku di sini” goda Lee, membuat
Claire tersenyum masam.
“Kalau kau tidak mengatakannya,
aku tidak mau meminjamkan catatan tugasku lagi”
“Hei tenang Claire, apa kau
selalu panik saat aku tidak ada. Aku ada di perpustakaan” Lee menjawab dengan
tenang. Meskipun Claire tak dapat melihatnya, ia dapat merasakan ada senyum
tulus di balik perkataan Lee.
“Ah, berani bertaruh kau pasti sedang bermain
game di sana” sahut Claire bersungut-sungut.
“Kau selalu begitu Claire,
memperhatikanku setiap detailnya” Lee terkekeh “Internet di sini sangat cepat
dan lancar, tempat duduknya nyaman pula. Mungkin aku akan tinggal di sini saja
selamanya”
“Kau bercanda. Kelas akan dimulai
10 menit lagi. Cepat kembali kalau kau ingin namamu masuk dalam daftar hadir Mr
Jacob”
***
Kelas telah berakhir, namun tak
satupun mahasiswa meninggalkan ruangan. Claire masih sibuk merapikan buku dalam
tasnya, saat semua manusia yang ada di ruangan ini tiba-tiba mengelilinginya.
Seperti dia adalah pusat lingkaran.
“Kami ingin berbicara denganmu”
kata salah satu dari mereka, akhirnya.
Claire bingung, menatap kumpulan
manusia di depannya. Mereka semua adalah teman-teman Claire, yah setidaknya
itulah anggapan Claire selama ini, meskipun tak satupun dari mereka benar-benar
memperhatikannya. Kecuali Lee, hanya dialah satu-satunya sahabat dan orang
terdekat Claire. Persahabatan mereka tanpa pamrih, Meski tanpa diminta, Claire
akan senang membantu Lee, dan Lee yang akan menjaga Claire dengan tulus. Selama
ini Claire hanya mengira satu hal yang membuatnya dijauhi teman-teman, Claire
terlalu pintar. Ya, ini agak aneh mengingat biasanya mahasiswa pintar pasti
akan didekati teman-temannya untuk meminta tolong, toh Claire tidak pernah
menolak jika mereka meminjam catatannya atau bahkan menyalin tugasnya.
“Mulai besok kami tidak ingin
melihatmu lagi memakai rok dan berdandan seperti ini” kata salah satu lainnya,
sambil memandang rendah ke arah Claire.
Kenapa?
Apa yang salah dengan penampilanku?
Tanya Claire dalam hati
“Seharusnya kau tahu peraturan
dasar yang tidak tertulis mengenai sopan santun. Mahasiswi jurusan ini tidak
diperbolehkan menggunakan pakaian mencolok sepertimu. Dan juga make up yang kau
kenakan terlalu tebal, seperti wanita penjual diri”
Claire tercengang mendengar
pernyataan teman-temannya. Mereka baru saja mengatainya sebagai wanita penjual
diri. Hati Claire sakit, benar-benar tidak menyangka bahwa alasan mereka
menjauhinya adalah karena hal sepele. Mereka menjauhinya karena ia cantik. Ini
konyol, ia sering membaca novel tentang perempuan yang tidak percaya diri dan
sering di bully hanya karena fisiknya yang tak sempurna. Sekarang yang terjadi
padanya adalah sebaliknya, ia dijauhi karena ia cantik. Apa salahnya jika ia
terlahir seperti ini? Claire memang selalu memakai gaun dan rok jika ke kampus,
tapi ia merasa tidak pernah berdandan menor. Ia hanya menggunakan pelembab
bibir bewarna natural, bahkan hampir tidak terlihat kalau ia mengenakannya
kecuali bibirnya yang terlihat sedikit basah. Ia bahkan tidak memakai bedak,
hanya pelembab tabir surya yang menghalangi kulit wajahnya dari sinar matahari.
Rambutnya juga selalu dikuncir ke belakang, tanpa pernah sekalipun ia urai
apalagi merubahnya dengan model-model terkini. Ia adalah gambaran gadis
sederhana, jauh jika dibandingkan dengan mahasiswi dari fakultas lain yang bahkan
mencukur alisnya atau memakai sepatu hak tinggi. Claire tidak berdandan seperti
itu, tapi anehnya teman-temannya keberatan. Dan yang lebih aneh lagi mereka
semua adalah laki-laki. Pria mana yang menolak melihat wanita cantik di hadapannya,
meskipun Claire memang tidak bermaksud menggoda mereka.
“Dan juga karena prestasimu yang
terlalu unggul. Kami tidak suka kau menjadi yang terbaik, karena itu seharusnya
dipegang mahasiswa laki-laki. Dari tahun ketahun kami lah mayoritas di sini.
Perempuan sepertimu tidak berhak menjadi yang terbaik”
Bagai ditusuk sembilu, hati
Claire semakin nyeri mengetahui kenyataan ini. Oh, penyebab ia dijauhi dan
dibenci hanya karena ia pintar, cantik, dan ia satu-satunya mahasiswi yang ada
di kelas ini. Hanya karena ia perempuan!
Omong
kosong apa ini?!
Claire memaki dalam hati.
Ia melirik ke arah Lee, berharap
Lee akan membelanya. Ia yakin jika sahabatnya itu berdiri di sana untuk
membelanya. Tapi di luar dugaan Lee hanya terdiam, seakan mengamini setiap
perkataan teman-temannya. Hancur sudah pertahaan Claire, ia menangis
tersedu-sedu di hadapan puluhan laki-laki yang mengelilinginya, memandanginya
dengan tajam. Dan saat tangisnya semakin meledak, kumpulan itu perlahan
membubarkan diri, dengan dingin, tanpa sepatah katapun, meninggalkan Claire
sendirian. Ya, benar-benar sendirian, ia tidak memiliki siapapun lagi di kampus
ini. Bahkan Lee pun tidak.
***
Suara dentingan sendok yang
beradu dengan cangkir terdengar dari pojok lain di lantai gedung ini. Lantai
yang sama dengan kantor yang baru saja dimasuki Claire. Claire mengaduk tehnya
dengan malas dari meja kerjanya yang sempit. Maklum, sebagai staff berpangkat
rendah ia hanya memiliki tempat di kantor berupa bilik berukuran 1x1meter.
Hanya cukup untuk menampung satu meja kecil dengan 1 komputer di atasnya.
Bahkan ia merasa bilik warnet di dekat rumahnya masih lebih besar dari ini. Namun
ia cukup betah bekerja di perusahaan ini, gajinya lumayan meski pekerjaannya
hanya sebatas memasukkan data ke dalam database perusahaan. Pekerjaan remeh,
namun hanya orang yang diberi tanggung jawab dan kepercayaan yang dapat
melakukannya.
Kepalanya pening
memikirkan kejadian tadi pagi, aroma teh hijau belum mampu mengusir gejolak
perasaan yang saat ini ia alami. Ia sama sekali tidak menyangka jika Lee,
sahabatnya semasa kuliah adalah atasannya. Ia sering mendengar cerita tentang
pria tampan misterius yang menjadi CEO perusahaan ini. Tidak semua karyawan
pernah bertatap muka dengannya, membuat keberadaannya semakin misterius. Itulah
sebabnya, Claire tidak pernah mengetahui jati diri dari tuan Lee sesungguhnya.
Betapa terkejutnya ia mengetahui bahwa tuan Lee yang menggajinya selama ini
adalah sahabatnya dulu semasa kuliah, atau setidaknya pernah menjadi sahabat.
Alih-alih meminum
tehnya, ia malah menopang dagunya dengan malas dan memandang asap yang mengepul
dari cangkir tehnya. Sesosok tangan maskulin mengambil cangkir tehnya,
mengangkatnya dan menyesapnya hingga menimbulkan bunyi keras.
“Kau…” Claire mendongak, hendak memperingatkan
dengan halus saat pria itu menyentuh pundaknya, namun benda berkilau yang
melingkar di jari manis pria itu membuat emosinya kembali memuncak “Kau sudah
menikah. Jangan sentuh aku!” ia menepis tangan pria itu dengan sekali sentakan.
“Oh ini, memang ini cincin
perkawinan. Tetapi sekarang tidak penting lain” gumam Lee serak, mencemooh
dirinya sendiri. Tiba-tiba saja ia sudah berdiri dan bersandar pada salah satu
bilik yang memisahkan tempat kerja Claire dengan rekan di sebelahnya “Cincin
ini hanya alat untuk mencegah wanita lain mendekatiku” ia tertawa hambar,
membuat Claire memandanginya curiga. “Kalau kau ingin tahu aku sudah bercerai.
Perceraian dimana kedua belah pihak sama-sama diuntungkan”
“Itu kesalahanmu, bukan urusanku”
gumam Claire pedas.
“Mungkin, tapi kesalahan
terbesarku adalah membiarkan orang yang ku cintai berjuang sendirian” Lee
menatap lurus-lurus Claire “Aku meninggalkannya saat dia membutuhkanku”
“Tidak. Kesalahan terbesarmu
adalah membiarkanku jatuh cinta dan berharap padamu” Claire terkejut karena ia
mengatakan isi hatinya. Ia menutup mulutnya yang menganga, berharap bisa
menarik kata-katanya kembali.
“Aku tahu. Aku juga tidak
berharap kau mau memaafkanku” Lee memalingkan wajah dengan sedih ”Tapi
setidaknya berikan aku kesempatan untuk mencobanya”
“Kau salah kalau mengira aku
tidak memberimu maaf” mata Claire berkaca-kaca “Aku memaafkanmu Lee, tapi aku
tidak akan pernah melupakan apa yang kau lakukan. Itu sama saja berharap ada
sebagian otak ku yang hilang, dan bagian itu adalah memori saat mengenalmu”
“Tolong aku Claire, aku tersiksa”
Bisik Lee seolah kesakitan.
“Sudah 10 tahun berlalu dan kau
baru bilang membutuhkanku. Kau terlambat Lee, terlambat!” teriak Claire parau.
Ia tidak peduli saat ini mereka tidak sedang berdua, banyak karyawan lain di
sekitar mereka.
“Tidak, aku yakin aku belum terlambat.
Kau belum menikah Claire” Lee menggenggam tangan Claire tanpa bisa ditolak,
namun Claire masih enggan memandangnya “Claire” panggilnya lirih sekali lagi.
“Itu bukan urusanmu” Dibutakan
oleh kemarahan, Claire mendorong Lee dengan keras, membuat Lee tersungkur ke
lantai. Pemandangan itu membuatnya puas sesaat, melihat beberapa karyawan lain
menatap heran ke arah Lee yang kesakitan. Beberapa saat Claire memandanginya,
namun Lee belum juga bangun. Dengan ragu-ragu ia menghampiri Lee. Betapa
terkejutnya ia melihat sebelah kaki Lee terbuat dari bahan seperti fiber. Ia
mengenakan kaki palsu!
“Apa.. apa yang terjadi dengan
kakimu” suara Claire tercekat di tenggorokan.
“Hanya kecelakaan kecil” Lee
tersenyum pedih “Di hari itu aku sedang mengendara ke suatu tempat untuk meminta
maaf darimu dan melupakanmu. Tapi aku tak kan pernah sampai disana. Langkahku
terhenti karena sebuah truk menghantam mobilku dari depan. Aku beruntung masih
hidup. Tapi yang membuatku sedih adalah aku tidak dapat menghadiri pernikahan
sahabatku”
Claire menunduk, mata mereka kini
bertatapan. Claire tidak dapat menahan air matanya lagi. Ia mengelus pipi Lee
dengan mata terpejam.
“Ya Claire, aku berusaha datang
ke pesta pernikahanmu” sambung Lee getir “Meskipun kau tidak mengundangku, aku
berharap bisa melihatmu bahagia, diam-diam mengintipmu dari kejauhan saat kau
mengucap janji pernikahan. Tapi itu tak pernah terjadi. Aku menyesal setengah
mati terbaring di rumah sakit berminggu-minggu tanpa pernah mengatahui kabarmu.
Katakanlah aku jahat, tapi aku senang tak lama kemudian aku mengetahui pria
brengsek itu tidak hadir saat itu, membuatmu batal menikah. Sejak saat itu aku
bertekad untuk mencarimu dan mencoba membangun semuanya dari awal”
“Lee” suara Claire bergetar saat
memanggil namanya, tersedak oleh tangisan yang dalam.
“Tidak Claire, aku tidak berusaha
mencari simpatimu. Aku hanya ingin mencoba memahami isi hatimu. Aku hanya ingin
tahu apakah rasa sayang dan cintamu masih ada pada. Aku tahu kau begitu Claire,
kita saling menyukai sejak persahabatan kita dimulai. Tapi tak satupun dari
kita mengatakannya. Aku menyesal aku hanya menjadi lelaki pengecut, aku tidak
pernah mengatakan perasaanku padamu hingga membuatmu merasa dipermainkan. Aku
juga tidak membelamu di depan teman-teman kita”
“Ralat. Teman-teman mu, bukan
kita!” sahut Claire ketus.
“Tidak juga” Lee tertawa kecil
melihat ekspresi Claire yang berubah dengan cepat “Mereka hanya kumpulan
orang-orang tersesat yang kolot. Masih saja memuja teori lama tentang pria yang
bisa segalanya. Padahal wanita juga berhak mendapat kesempatan yang sama dalam
dunia pendidikan. Mereka orang-orang aneh”
“Kau berkata begitu karena saat
ini kau bersamaku. Coba dihadapan mereka, kau pasti memaki ku habis-habisan”
“Aku hanya berpura-pura baik di
hadapan mereka agar mereka tidak menyakitimu lebih jauh”
Menyakitiku
lebih jauh? Claire
bertanya dalam hati. Apa ini ada hubungannya dengan terror yang ia terima
sewaktu kuliah? Setelah ‘persidangan’ yang ia alami ia sering mendapati benda
aneh dalam loker kampusnya, namun kejadian itu terhenti secara perlahan. Dan
secara perlahan pula Lee menjauhinya, sampai pada akhirnya mereka sama sekali
tak saling menyapa satu sama lain. Claire dan Lee selalu berada dalam satu
kelas, namun tak satupun kata terucap dari mulut mereka untuk berbicara seperti
dulu. 2 tahun terakhir di perkuliahan mereka habiskan dalam diam, seperti tak
saling mengenal.
“Luka ini bisa sembuh, meskipun
tak sempurna. Tapi ini…” Lee meraih sebelah tangan Claire dan meletakkannya di
depan dadanya” tidak akan sembuh sampai seseorang menyempurnakan hidupku”
Lee memejamkan mata, berusaha
menyembunyikan air mata. Kumohon, terima
tawaranku Claire Lee menjeritkan
permohonan dalam diam. Seolah mengerti isi hati Lee, Claire menjawab “Aku tidak
bisa menjadi sekretaris pribadimu. Apa kata orang jika staff rendahan sepertiku
tiba-tiba naik pangkat menjadi orang kepercayaanmu”
“Yah, kurasa jadi istriku sudah
cukup” Lee mengelus puncak kepala Claire dengan sayang “Kau tidak perlu bekerja
lagi, duduk manislah di rumah dan tunggu aku pulang sambil mengomel seperti
biasa” perkataanya barusan mau tidak mau membuat Claire tertawa kecil.
“Apa itu berarti kau melamarku?”
Tanya Claire ragu.
“Jika kau menerima keadaanku apa
adanya. Dan juga…” Lee mengangkat bahu pedih “Aku masih suka bermain game seperti
dulu, apa kau tidak keberatan punya suami sepertiku?”
“Kurasa aku tidak perlu
mengatakannya” Claire meraih Lee, mendekatkan diri padanya. Mereka berpelukan dalam
keadaan duduk, tidak menghiraukan pandangan puluhan pasang mata yang penasaran
dengan apa yang terjadi. Atasan mereka yang jarang terlihat, belakangan
diketahui karena ia mempunyai cacat fisik yang menyebabkannya kesulitan
berjalan sehingga memilih untuk tidak sering menampakkan diri di depan umum,
kini tengah bermesraan dengan salah satu karyawannya.
“Aku mencintaimu Claire” gumam
Lee sambil mencium kening Claire
Claire mendongak dan menatap
wajah pria yang dicintainya ini dengan kasih “Ya, aku juga. You’re my love,
Lee”
0 komentar:
Posting Komentar