Kisah
ini bermula sekitar akhir bulan Juli tahun lalu. Saat itu sore hari menjelang
berbuka puasa, aku mencoba menghabiskan waktu dengan jalan-jalan di sekitar
lapangan. Lapangan itu letaknya persis di depan rumah, hanya terpisah oleh
halaman serta jalan kampung yang relatif sepi. Dan di antara halaman rumah dan
jalan kampung ada parit yang lebarnya sekitar 1 meter dengan kedalaman sekitar 75
cm. Saat musim penghujan parit itu selalu basah, namun airnya tidak selalu
menggenang karena letak parit yang lebih tinggi dari permukaan sungai sehingga
air selalu mengalir kesana. Tetapi begitu memasuki musim kemarau bisa
dipastikan parit itu akan kering kerontang dengan tanaman liar yang menyumbat
alirannya. Tanaman itu terdiri dari bayam liar, rerumputan yang tahan kering
serta terkadang kangkung liar yang tumbuh saat parit sudah mulai basah akan air
hujan. Sampah-sampah lain juga kerap memenuhi parit itu, mulai dari kantong
plastik hingga nasi basi serta makanan sisa, sampah khas rumah tangga. Namun di
antara sampah-sampah itu, ada satu jenis sampah yang paling menarik perhatian.
“Sampah” itu berbentuk menyerupai makhluk hidup yang sudah biasa ku kenal.
Dengan kulit terbalut bulu, 2 pasang kaki, ekor serta kepala. Di kepalanya
terdapat pula sepasang mata, sepasangan telinga, kumis dan mulut yang
mengeluarkan suara dengan nyaring. Dan jelas terlihat sekali kalau sampah itu bergerak-gerak
dan bernyawa ! Ya, sampah itu (aku sangat yakin makhluk itu menjadi sampah
karena ada manusia di luar sana yang tidak menginginkan mereka) adalah seekor
kucing. Tapi hey, itu bukan seekor
melainkan 3 ekor.
“aduuuh, ini apa lagi ? siapa
yang buang ? “
Aku bertanya pada
orang tua ku yang sedang duduk di samping pagar halaman. Tempat duduk khas
orang kampung yang terbuat dari bata dan semen yang di bangun sekedarnya untuk
menikmati suasana luar rumah. Dan tentu saja, tempat duduk seperti itu akan
menjadi pusat perkumpulan orang-orang yang sedang rehat dari pekerjaan rumah
dan ingin mengobrol dengan tetangga atau sanak saudara.
“kayaknya ada yang buang, dari
kemarin meong-meong di situ” jawab mama
Aku agak terkejut. “Dari
kemarin?” berarti makhluk kecil ini sudah berada di parit ini semalamam ? tanpa
makan dan minum ? aku yakin mereka tidak makan dan juga tidak minum. Memangnya
apa yang mau mereka makan dan minum di antara rerumputan dan tanah kering parit
ini. Mereka bukan kambing yang makan rumput, dan kambing pun juga butuh minum.
Apalagi mereka yang tergolong masih bayi ini, mereka hanya minum susu. Darimana
mereka mendapatkan susu kalau semalam mereka berada di parit ? dan ibu kucing
mana yang begitu bodoh membiarkan anaknya sendirian di tempat seperti ini.
Maksudku, parit ini tidak aman. Parit ini begitu terbuka, di siang hari akan
sangat mudah terpanggang sinar matahari dan begitu senja tiba dingin akan
segera menyerang. Maka aku simpulkan, bayi-bayi ini tanpa orang tua. Kusebut
bayi karena kuperkirakan usia mereka tidak lebih dari 6 minggu. Mereka semalaman
berada si sini dengan perlindungan seadanya dari panas dan dingin, mereka
berlindung di balik rumput yang lebih tinggi dari badan mereka.
“Semalam di sini kenapa gak ada
yang ngambil ?” aku geram, dan sempat sedikit kesal dengan orang tua ku, karena
mereka tau akan hal ini tapi mereka membiarkannya. Tapi kemudian aku berpikir
positif, mungkin mereka berpikir bayi-bayi kucing ini ada induknya, dan mereka
hanya bermain-main di sekitar parit. Dengan segera aku turun ke parit,
mengambil 2 ekor bayi yang sedari tadi mengeong-meong dengan keras. Suaranya
hampir membuatku frustasi. Suara khas bayi yang menangis kelaparan dan
ketakutan karena jauh dari induknya. Aku berusaha menenangkan mereka dan
kutitipkan mereka pada orang tua ku yang masih duduk di tempat dan posisi yang
sama. Dengan segera aku mencari yang tersisa. 1 ekor lagi yang suaranya memecah
keheningan namun wujudnya masih belum nampak. Akhirnya aku melihat sesosok
kecil berwarna kuning kecoklatan berjalan sempoyongan sambil menangis-nangis di
tempat sampah tak jauh dari parit. Makhluk itu tampak lebih rapuh dari 2 ekor
sebelumnya yang aku ambil dari parit. Seekor ini kondisinya parah, dengan badan
kurus dan mata yang tertutup kotoran.
Triple A, yah
begitulah aku menyebut 3 bayi mungil itu. Tidak membutuhkan waktu banyak untuk
ku memberi nama mereka. Affika untuk yang berwarna coklat susu, penampilanya
terlihat paling mencolok di antara kedua saudaranya yang lain. Ia terlihat
lebih manja, cantik dengan warna bulu yang termasuk jarang untuk ukuran kucing
kampung yang biasa berkeliaran di sekitar rumah. Sedangkan si kembar yang
berwarna orange kecoklatan kuberi nama Annisa dan Allena. Orang awam akan sukar
mengenali mana di antara mereka yang bernama Annisa dan mana Allena, tapi aku
yang setiap hari, bahkan hampir setiap saat berinteraksi dengan mereka akan mudah
membedakan mereka hanya dari wajahnya. Dan mungkin sebagian orang akan
terheran-heran mengapa aku memberi nama bayi-bayi kucing seperti nama manusia,
dan mereka akan lebih terkejut saat aku bilang bayi-bayi kucing ini punya nama
panjang ! Affika Ayu Ramadhani, Annisa Ayu Ramadhani dan Allena Ayu Ramadhani.
Nama Ayu ditambahkan karena selain itu namaku, aku juga berharap mereka akan
tumbuh menjadi kucing cantik, jauh dari kesan saat pertama mereka ditemukan.
Ramadhani sebagai pengingat kapan mereka ditemukan, karena bagiku mereka
seperti berkah yang kutemukan di bulan Ramadhan, bulan suci bagi umat muslim.
…
Beberapa minggu
setelahnya, kehidupanku yang sudah mulai tertata dengan kehadiran 3 bayi kucing
ini mendadak kembali terguncang. Di suatu malam yang sunyi, dari kejauhan
terdengar suara tangisan kucing kecil. Aku pun teringat kembali akan penemuan Triple
A, lalu kuputuskan untuk keluar rumah dan mendatangi lokasi yang sama.
Pencarianku tidak membuahkan hasil, namun suara itu masih terdengar nyaring dan
jelas sekali di telingaku. Akhirnya aku mencoba menelurusi lebih jauh ke dalam
lapangan. Kegelapan yang menyelimuti lapangan itu bukanlah satu-satunya
penghambat. Jauh di dalam alam sadarku aku berharap lebih baik suara itu hanya
halusinasi ku saja, atau sekalian makhluk halus yang bersuara menyerupai kucing
! Aku berusaha menolak fakta bahwa ada orang gila lainnya yang membuang kucing
kecil di tengah gelap dan dinginnya malam seperti ini.
Lamunanku pun buyar
saat kakiku menginjakkan sesuatu yang bergerak. Tidak menginjak lebih tepatnya,
melainkan kakiku yang terinjak. Sesuatu berputar-putar di sekitar mata kakiku.
Konsentrasiku akan suara nyaring itu kini terfokus pada gerakan kecil, tidak
teratur namun terasa mengelilingiku. Kucing kecil itu berjalan tak terarah,
memutar-mutar seakan bumi bergoncang. Langkahnya tidak pasti dan kepalanya ikut
bergoyang saat ia berjalan. Persis seperti ayam yang terkena virus tetelo.
Sesaat kemudian aku sadar, suara nyaring itu berasal dari arah bawah. Seekor
kucing kecil terlihat berjalan kebingungan sambil menangis meraung-raung. Aku
berpikir “pasti ada yang salah dengan kucing ini” Lalu aku membawanya ke tempat
yang lebih terang, di bawah lampu penerangan jalan dekat parit tempat Triple A ditemukan.
Ku pikir ada sesuatu yang mengikat kakinya, atau mungkin dia terjerat benang
bekas layang-layang, namun tak ada sesuatu yang menempel di badannya. Kucing
itu terus meraung-raung sambil berjalan sempoyongan. Tak tahu apa yang harus ku
lakukan, aku sempat menangis. Jangan-jangan kucing ini sekarat. Ya Tuhan kenapa
ada orang yang tega membuang kucing sakit di tempat seperti ini, kenapa Engkau
biarkan kucing malang ini sendirian. Seandainya dia mati biarkanlah dia mati di
dekat orang tua dan saudaranya.
…
Minggu-minggu berganti bulan. Tak
lama setelah 4 ekor kucing kecil ini menjadi penghuni baru di rumah, kondisi
mereka semakin membaik. Untuk Triple A, mereka sudah bisa berjalan dengan lancar
dan meongan mereka terdengar semakin keras. Apalagi jika tahu aku membawa botol
berisi susu kesukaan mereka. Ya, setelah ku pungut mereka dari dalam parit itu
aku sempat kebingunan hendak ku beri makan apa mereka, karena kulihat mereka
masih belum disapih dan belum bisa makan makanan basah. Akhirnya setelah
mencari beberapa informasi mengenai susu kucing dan penggantinya, ku putuskan
untuk membeli susu formula untuk bayi manusia berusia 0-6 bulan Hal ini setelah
mengenai pertimbangan yang matang mengingat harga susu kucing yang relative
mahal. Jujur saja, aku hanya mengadalkan uang saku harianku untuk memenuhi
kebutuhan mereka, jadi aku pilih yang tidak semahal susu khusus kucing namun
tetap dapat memenuhi gizi bayi-bayi itu. Pilihanku jatuh pada satu merek susu
formula untuk bayi yang bertuliskan Low Lactose Milk, karena kupikir kucing
memang tidak bisa mencerna laktosa kan ?
Esmeralda
Namun berbeda dari
Triple A, Esmeralda begitu aku memanggil untuk si kecil yang kutemukan
sendirian di tengah lapangan, mengalami pertumbuhan yang agak lambat dibanding
3 saudara angkatnya. Pada awal ditemukan badannya sedikit lebih besar di
banding Triple A, sehingga aku tidak perlu memberinya susu. Karena
kekurangannya (aku sempat mengira dia buta dan itu alasanku memberinya nama
seperti sebuah Telenovela yang menceritakan tentang gadis buta Esmeralda) dia
selalu kalah dalam perebutan makanan. Namun satu hal yang membuatku terharu
melihat Esmeralda, bahwa ia tak pantang menyerah, meski saat berjalan ia sering
menabrak sesuatu yang ada di depannya. Di saat Triple A mulai “nakal” dengan
naik-naik di atas meja, atau bahkan merayap diantara gorden, Esme begitu
panggilannya cukup puas dengan bermain di atas permukaan lantai.
Bulan-bulan
berlalu, mereka tumbuh semakin besar dan aktif. Melihat perkembangan mereka
sungguh sesuatu yang tidak terbayar. Bukannya aku tidak punya kucing lain selain
mereka. Ada 1 ekor pejantan dewasa yang juga menghuni rumah ini. Namanya
Bumblebee Nyo Jr, Bee panggilannya. Fisiknya tentu saja kucing, namun bagiku
dia lebih terlihat seperti adik bungsu. Dia tidak terlalu menyukai kehadiran
bayi-bayi ini, secara naluri kebanyakan kucing memang sukar untuk menerima
kehadiran kucing lain. Meski begitu dia tetap membiarkan mereka bermain di
sekitarnya. Mungkin karena mereka berempat adalah betina, jadi Bee tidak
menganggap mereka sebagai ancaman.
Sebagai penghuni
baru, kehadiran Triple A dan Esmeralda cukup menyita perhatian. Aku
membayangkan mereka adalah sebuah girlband
yang beranggotakan 4 ekor kucing kecil bersuara emas yang pintar menari
(terkecuali Esme, karena ia tidak selincah Triple A). Aku memahami dengan baik
sifat dan karakter mereka sambil membayangkan mereka adalah manusia. Ku buatkan
pakaian-pakaian lucu yang terbuat dari kain-kain bekas tak terpakai, sekedar
untuk menunjang “aksi panggung” mereka atau saat sedang ingin mengambil gambar
mereka dengan kamera digital yang ku punya.
Annisa AR
Annisa, dia adalah leader bagi Triple A feat Esemeralda,
begitu aku menyebut girlband mereka.
Annisa berbadan paling besar di antara yang lain, memiliki pose paling anggun
jika di potret. Kesukaannya adalah sesuatu yang berkilau, salah satu benda yang
disukainya adalah kalung emas yang ku pakai. Saat ku gendong selalu saja dia
menarik-narik dan menggigiti kalungku. Dia juga satu-satunya yang ku pakaikan
kalung khas kucing, dengan lonceng dan tali berwarna merah yang benar-benar cocok
dengan warna bulu dan matanya.
Allena AR
Allena adalah
kembaran dari Annisa, sekilas mereka benar-benar mirip namun jika diperhatikan
Allena berbadan lebih langsing daripada saudara kembarnya Annisa. Bayangkan
seorang anak perempuan yang tidak banyak bicara namun aktif secara fisik dan
rasa ingin taunya besar, itu adalah Allena. Selain itu dia juga bisa dikatakan
tomboy sekiranya dia adalah benar-benar anak manusia. Kemudian Affika, hanya
ada satu kata yang bisa menggambarkan sifatnya. Childish, atau kekanak-kanakan, manja dan ingin selalu
diperhatikan. Sampai usianya menginjak 6 bulan pun dia masih menganggap dirinya
seperti bayi kucing yang baru lahir dan butuh menyusu 18 jam sehari. Tak bisa
lepas dari botol minumnya, dia akan mencari-cari jari manusia untuk dijadikan
pengganti dot botol. Dan Esmeralda, last
bot not least dibalik kekurangannya dia memiliki keistimewaan tersendiri.
Terlahir sebagai warna belang tiga, di punggungnya terdapat bentuk hati dengan
warna coklat dan ditengah hati tersebut ada garis berwarna putih. Mirip dengan
gambar hati yang retak. Ada sebuah guyonan tentang Esme, yaitu saat adik ku
bilang bahwa ia telah dimasukkan dalam zona pertemanan oleh teman wanita yang
di sukainya (semacam friendzoned). Dia mengatakan bahwa wajah Esme mengingatkannya
pada Ekha.
“hahaha, gak salah
nih, masa Ekha mirip Esme. Ya jelas cantikan Esme dong” kelakar ku
“iya, coba deh di
liat-liat, wajahnya sam-sama tirus. Ekspresinya juga cantik” jawab adik ku tak
mau kalah
Dan sejak saat itu, untuk menghibur dirinya sendiri, adik ku memanggilnya dengan sebutan Esme Ekha. Namun tidak ada kabar yang lebih menggembirakan lagi tentang Esme, selain bahwa ternyata dia tidaklah buta seperti yang aku kira selama ini. Dia hanyalah menderita Nystagmus, yaitu suatu kelainan mata dimana bola mata bergerak tak terkendali seperti bergetar. Dia tetap bisa melihat, dan suatu hari aku mendapatinya sedang melompat menaiki kursi meja makan. Bagi sebagian orang, tingkah laku kucing saat menaiki meja makan tentu bukan hal yang patut untuk di banggakan, tapi kejadian ini justru membuatku terharu. Esmeralda bisa beraktifitas layaknya kucing normal lainnya adalah suatu berkah yang luar biasa.
Dan sejak saat itu, untuk menghibur dirinya sendiri, adik ku memanggilnya dengan sebutan Esme Ekha. Namun tidak ada kabar yang lebih menggembirakan lagi tentang Esme, selain bahwa ternyata dia tidaklah buta seperti yang aku kira selama ini. Dia hanyalah menderita Nystagmus, yaitu suatu kelainan mata dimana bola mata bergerak tak terkendali seperti bergetar. Dia tetap bisa melihat, dan suatu hari aku mendapatinya sedang melompat menaiki kursi meja makan. Bagi sebagian orang, tingkah laku kucing saat menaiki meja makan tentu bukan hal yang patut untuk di banggakan, tapi kejadian ini justru membuatku terharu. Esmeralda bisa beraktifitas layaknya kucing normal lainnya adalah suatu berkah yang luar biasa.
Affika AR
Oktober 2012, ku
bawa Affika pergi jalan-jalan. Lebih tepatnya ke sebuah mall untuk mengikuti
acara yang di selenggarakan oleh salah satu merk pakan kucing komersil. Keputusan
ini di ambil karena tidak mungkin aku membawa keempatnya, maka ku putuskan
untuk membawa Affika karena perangainya yang lebih kalem di banding saudaranya
yang lain. Awalnya aku ragu, apakah pantas seekor kucing kampung mengikuti
acara seperti itu ? Namun setelah sampai di sana, banyak orang yang bertanya
padaku tentang kucing jenis apakah Affika ini, karena mereka melihat Affika
tidak seperti kucing biasa, warna bulunya yang cream kecoklatan sepintas
membuatnya terlihat seperti kucing ras. Namun setelah kuyakinkan mereka bahwa
Affika dulunya hanya kucing kampung yang terlantar dan terbuang di parit mereka
baru percaya. Mereka juga terheran-heran dengan kebiasaan lucu Affika yang suka
minum dari botol susu, ngedot istilahnya. Susu bukan menjadi makanan utamanya
saat ini, tapi kebiasaan menghisap dari botol masih dilakukan Affika sampai dia
sudah sebesar ini. Bahkan jika botol (yang kini hanya berisi air putih) ini di
ambil darinya, maka dia akan merengek-rengek meminta botol itu kembali, atau
yang lebih lucunya dia akan mencari-cari jari manusia sebagai pengganti dotnya
untuk dihisap ! Affika pun sempat jadi pusat perhatian di acara itu, yang jelas
sekali terlihat bahwa para peserta kebanyakan membawa kucing ras. Tapi toh aku
tetap bangga membawa Affika, dan ini pengalaman pertamaku membawa kucing untuk
mengikuti kontes dan bertemu dengan sesama penyayang kucing lainnya di luar
sana.
Namun takdir tak
dapat dihindari. Di saat kita sedang lengah menikmati sinar mentari, di saat
itulah seharusnya kita waspada akan awan mendung yang bisa saja datang
tiba-tiba. Awal Januari, tepatnya 4 Januari 2013, kesedihan itu berawal. Kulihat
salah seekor bayi-bayi ku yang tengah beranjak remaja sedang tidak nafsu makan.
Affika, yang pada hari-hari biasa seperti mesin bulldozer yang menggiling
makanan tanpa pilih-pilih, hari ini hanya makan beberapa butir dry food
kesukaannya. Kuputuskan untuk mengganti makanannya dengan wet food dan ayam
mentah, namun ternyata bukan kebosanan yang tengah melanda Affika, ada sesuatu
yang tidak beres sedang terjadi padanya. Kuputuskan keesokan harinya ku bawa
Affika menuju klinik hewat terdekat, setelah melihat gejala sakitnya yang
semakin parah disertai muntah-muntah. Minggu pagi kupikir kondisinya semakin
membaik setelah kemarin mendapatkan suntikan obat, namun malam harinya saat aku
tengah membantu adik ku mengerjakan tugas, Affika semakin pasrah dengan
penyakitnya, distemper. Aku tidak tega melihatnya, tapi adikku menyuruhku untuk
tetap menemaninya di saat-saat kritisnya. Akhirnya dengan ditemani adik, aku
melihat nafas Affika yang terakhir. Sedih tak terbayangkan, itu sudah pasti. Bagaimana
tidak, aku yang sehari-hari mengurus keperluan mereka, mulai dari memberi
makan, membersihkan kandang, memandikan mereka untuk yang pertama kalinya,
mengajaknya bermain dan mengenalkan mereka pada kehidupan dalam rumah, harus
menjadi orang yang terakhir kali melihat Affika saat dia pergi.
Triple A kini hanya
tinggal si kembar Annisa Allena dan Esmeralda. Mereka terlihat begitu sedih
saat melihat saudara mereka Affika di kuburkan. Seakan tidak percaya mengapa
saudara yang sehari-hari bergaul dengan mereka, kini memilih untuk tertidur
dalam tanah dan menjauh dari mereka. Berhari-hari setelahnya si kembar juga
kehilangan nafsu makan, namun aku bersyukur mereka tidak menampakkan gejala
penyakit yang sama dengan Affika. Esmeralda mengidap sariawan di bibir bagian
bawahnya, membuatnya enggan untuk menyantap barang secuil makanan pun. Mereka
memilih untuk tidur dan beristirahat selama kondisi mereka yang cenderung
menurun. Akhirnya dengan keajaiban dan kehendak Tuhan mereka pulih dengan imunitas
tubuh mereka yang didukung dengan suplemen vitamin yang kuberikan. Namun tetap
saja, ada yang hilang dari Triple A. Dia yang selalu membangunkanku dengan
tindakan terkonyol yang pernah kulihat. Dia yang menggigit jariku dan
menghisapnya layaknya sebuah dot botol susu. Dia yang berbadan lentur dan
satu-satunya dari Triple A yang bisa melakukan split di lantai secara tiba-tiba
saat dia tengah melenggok berjalan. Dia yang mempunyai warna cream aneh yang
belum pernah kulihat sebelumnya.
1 bulan setelah
kepergian Affika, iseng-iseng kukirim foto saat aku berpose dengan Annisa,
dalam rangka kontes yang diselenggarakan salah satu fanpage pecinta kucing di
Facebook. Dan Annisa mendapat predikat untuk best cat’s expression. Seperti
yang kuduga, mereka tumbuh menjadi kucing yang cantik, sama seperti namanya. Jauh
dari kesan pertama saat bertemu denganku, kurus dengan bulu yang lusuh dan
tidak menampakkan kemilaunya. Dan pada saat-saat tertentu mereka terlihat
seperti sedang memikirkan sesuatu. Mungkin mereka memikirkan kemana perginya
Affika ? apakah Affika sudah tidak mau bermain bersama mereka ? apa yang
dilakukan Affika sekarang ? Aku berusaha untuk meyakinkan mereka bahwa Affika
sedang baik-baik saja di sana, di suatu tempat yang bernama Rainbow Bridge.
Batas dunia ini dengan Rainbow Bridge hanya tipis, garis kematian. Saat garis
itu terbuka, maka tidak ada lagi penghalang antara kalian dengan Affika. Semua
makhluk pasti akan mati, Annisa Allena atau Esmeralda bahkan aku sendiri pun
akan mati. Tapi sebelum kematian itu datang, kalian harus menikmati hidup ini
bersamaku. Masih banyak kejadian-kejadian yang harus kita lewati sebelum garis
itu terbuka. Masih banyak orang-orang yang harus diyakinkan bahwa memungut
kucing terlantar akan mengubah hidup mereka, dan itu tidak buruk. Bersama kita
tulis cerita kita sendiri, Annisa-Allena-Esmeralda, because you’re my precious.