Sabtu, 15 Maret 2014

Triple A feat Esmeralda

Diposting oleh My diary di 19.30
            Kisah ini bermula sekitar akhir bulan Juli tahun lalu. Saat itu sore hari menjelang berbuka puasa, aku mencoba menghabiskan waktu dengan jalan-jalan di sekitar lapangan. Lapangan itu letaknya persis di depan rumah, hanya terpisah oleh halaman serta jalan kampung yang relatif sepi. Dan di antara halaman rumah dan jalan kampung ada parit yang lebarnya sekitar 1 meter dengan kedalaman sekitar 75 cm. Saat musim penghujan parit itu selalu basah, namun airnya tidak selalu menggenang karena letak parit yang lebih tinggi dari permukaan sungai sehingga air selalu mengalir kesana. Tetapi begitu memasuki musim kemarau bisa dipastikan parit itu akan kering kerontang dengan tanaman liar yang menyumbat alirannya. Tanaman itu terdiri dari bayam liar, rerumputan yang tahan kering serta terkadang kangkung liar yang tumbuh saat parit sudah mulai basah akan air hujan. Sampah-sampah lain juga kerap memenuhi parit itu, mulai dari kantong plastik hingga nasi basi serta makanan sisa, sampah khas rumah tangga. Namun di antara sampah-sampah itu, ada satu jenis sampah yang paling menarik perhatian. “Sampah” itu berbentuk menyerupai makhluk hidup yang sudah biasa ku kenal. Dengan kulit terbalut bulu, 2 pasang kaki, ekor serta kepala. Di kepalanya terdapat pula sepasang mata, sepasangan telinga, kumis dan mulut yang mengeluarkan suara dengan nyaring. Dan jelas terlihat sekali kalau sampah itu bergerak-gerak dan bernyawa ! Ya, sampah itu (aku sangat yakin makhluk itu menjadi sampah karena ada manusia di luar sana yang tidak menginginkan mereka) adalah seekor kucing. Tapi hey, itu bukan seekor melainkan 3 ekor.

“aduuuh, ini apa lagi ? siapa yang buang ? “

Aku bertanya pada orang tua ku yang sedang duduk di samping pagar halaman. Tempat duduk khas orang kampung yang terbuat dari bata dan semen yang di bangun sekedarnya untuk menikmati suasana luar rumah. Dan tentu saja, tempat duduk seperti itu akan menjadi pusat perkumpulan orang-orang yang sedang rehat dari pekerjaan rumah dan ingin mengobrol dengan tetangga atau sanak saudara.
“kayaknya ada yang buang, dari kemarin meong-meong di situ” jawab mama
Aku agak terkejut. “Dari kemarin?” berarti makhluk kecil ini sudah berada di parit ini semalamam ? tanpa makan dan minum ? aku yakin mereka tidak makan dan juga tidak minum. Memangnya apa yang mau mereka makan dan minum di antara rerumputan dan tanah kering parit ini. Mereka bukan kambing yang makan rumput, dan kambing pun juga butuh minum. Apalagi mereka yang tergolong masih bayi ini, mereka hanya minum susu. Darimana mereka mendapatkan susu kalau semalam mereka berada di parit ? dan ibu kucing mana yang begitu bodoh membiarkan anaknya sendirian di tempat seperti ini. Maksudku, parit ini tidak aman. Parit ini begitu terbuka, di siang hari akan sangat mudah terpanggang sinar matahari dan begitu senja tiba dingin akan segera menyerang. Maka aku simpulkan, bayi-bayi ini tanpa orang tua. Kusebut bayi karena kuperkirakan usia mereka tidak lebih dari 6 minggu. Mereka semalaman berada si sini dengan perlindungan seadanya dari panas dan dingin, mereka berlindung di balik rumput yang lebih tinggi dari badan mereka.

“Semalam di sini kenapa gak ada yang ngambil ?” aku geram, dan sempat sedikit kesal dengan orang tua ku, karena mereka tau akan hal ini tapi mereka membiarkannya. Tapi kemudian aku berpikir positif, mungkin mereka berpikir bayi-bayi kucing ini ada induknya, dan mereka hanya bermain-main di sekitar parit. Dengan segera aku turun ke parit, mengambil 2 ekor bayi yang sedari tadi mengeong-meong dengan keras. Suaranya hampir membuatku frustasi. Suara khas bayi yang menangis kelaparan dan ketakutan karena jauh dari induknya. Aku berusaha menenangkan mereka dan kutitipkan mereka pada orang tua ku yang masih duduk di tempat dan posisi yang sama. Dengan segera aku mencari yang tersisa. 1 ekor lagi yang suaranya memecah keheningan namun wujudnya masih belum nampak. Akhirnya aku melihat sesosok kecil berwarna kuning kecoklatan berjalan sempoyongan sambil menangis-nangis di tempat sampah tak jauh dari parit. Makhluk itu tampak lebih rapuh dari 2 ekor sebelumnya yang aku ambil dari parit. Seekor ini kondisinya parah, dengan badan kurus dan mata yang tertutup kotoran.

Triple A, yah begitulah aku menyebut 3 bayi mungil itu. Tidak membutuhkan waktu banyak untuk ku memberi nama mereka. Affika untuk yang berwarna coklat susu, penampilanya terlihat paling mencolok di antara kedua saudaranya yang lain. Ia terlihat lebih manja, cantik dengan warna bulu yang termasuk jarang untuk ukuran kucing kampung yang biasa berkeliaran di sekitar rumah. Sedangkan si kembar yang berwarna orange kecoklatan kuberi nama Annisa dan Allena. Orang awam akan sukar mengenali mana di antara mereka yang bernama Annisa dan mana Allena, tapi aku yang setiap hari, bahkan hampir setiap saat berinteraksi dengan mereka akan mudah membedakan mereka hanya dari wajahnya. Dan mungkin sebagian orang akan terheran-heran mengapa aku memberi nama bayi-bayi kucing seperti nama manusia, dan mereka akan lebih terkejut saat aku bilang bayi-bayi kucing ini punya nama panjang ! Affika Ayu Ramadhani, Annisa Ayu Ramadhani dan Allena Ayu Ramadhani. Nama Ayu ditambahkan karena selain itu namaku, aku juga berharap mereka akan tumbuh menjadi kucing cantik, jauh dari kesan saat pertama mereka ditemukan. Ramadhani sebagai pengingat kapan mereka ditemukan, karena bagiku mereka seperti berkah yang kutemukan di bulan Ramadhan, bulan suci bagi umat muslim.
Beberapa minggu setelahnya, kehidupanku yang sudah mulai tertata dengan kehadiran 3 bayi kucing ini mendadak kembali terguncang. Di suatu malam yang sunyi, dari kejauhan terdengar suara tangisan kucing kecil. Aku pun teringat kembali akan penemuan Triple A, lalu kuputuskan untuk keluar rumah dan mendatangi lokasi yang sama. Pencarianku tidak membuahkan hasil, namun suara itu masih terdengar nyaring dan jelas sekali di telingaku. Akhirnya aku mencoba menelurusi lebih jauh ke dalam lapangan. Kegelapan yang menyelimuti lapangan itu bukanlah satu-satunya penghambat. Jauh di dalam alam sadarku aku berharap lebih baik suara itu hanya halusinasi ku saja, atau sekalian makhluk halus yang bersuara menyerupai kucing ! Aku berusaha menolak fakta bahwa ada orang gila lainnya yang membuang kucing kecil di tengah gelap dan dinginnya malam seperti ini.

Lamunanku pun buyar saat kakiku menginjakkan sesuatu yang bergerak. Tidak menginjak lebih tepatnya, melainkan kakiku yang terinjak. Sesuatu berputar-putar di sekitar mata kakiku. Konsentrasiku akan suara nyaring itu kini terfokus pada gerakan kecil, tidak teratur namun terasa mengelilingiku. Kucing kecil itu berjalan tak terarah, memutar-mutar seakan bumi bergoncang. Langkahnya tidak pasti dan kepalanya ikut bergoyang saat ia berjalan. Persis seperti ayam yang terkena virus tetelo. Sesaat kemudian aku sadar, suara nyaring itu berasal dari arah bawah. Seekor kucing kecil terlihat berjalan kebingungan sambil menangis meraung-raung. Aku berpikir “pasti ada yang salah dengan kucing ini” Lalu aku membawanya ke tempat yang lebih terang, di bawah lampu penerangan jalan dekat parit tempat Triple A ditemukan. Ku pikir ada sesuatu yang mengikat kakinya, atau mungkin dia terjerat benang bekas layang-layang, namun tak ada sesuatu yang menempel di badannya. Kucing itu terus meraung-raung sambil berjalan sempoyongan. Tak tahu apa yang harus ku lakukan, aku sempat menangis. Jangan-jangan kucing ini sekarat. Ya Tuhan kenapa ada orang yang tega membuang kucing sakit di tempat seperti ini, kenapa Engkau biarkan kucing malang ini sendirian. Seandainya dia mati biarkanlah dia mati di dekat orang tua dan saudaranya.
Minggu-minggu berganti bulan. Tak lama setelah 4 ekor kucing kecil ini menjadi penghuni baru di rumah, kondisi mereka semakin membaik. Untuk Triple A, mereka sudah bisa berjalan dengan lancar dan meongan mereka terdengar semakin keras. Apalagi jika tahu aku membawa botol berisi susu kesukaan mereka. Ya, setelah ku pungut mereka dari dalam parit itu aku sempat kebingunan hendak ku beri makan apa mereka, karena kulihat mereka masih belum disapih dan belum bisa makan makanan basah. Akhirnya setelah mencari beberapa informasi mengenai susu kucing dan penggantinya, ku putuskan untuk membeli susu formula untuk bayi manusia berusia 0-6 bulan Hal ini setelah mengenai pertimbangan yang matang mengingat harga susu kucing yang relative mahal. Jujur saja, aku hanya mengadalkan uang saku harianku untuk memenuhi kebutuhan mereka, jadi aku pilih yang tidak semahal susu khusus kucing namun tetap dapat memenuhi gizi bayi-bayi itu. Pilihanku jatuh pada satu merek susu formula untuk bayi yang bertuliskan Low Lactose Milk, karena kupikir kucing memang tidak bisa mencerna laktosa kan ?

Esmeralda

Namun berbeda dari Triple A, Esmeralda begitu aku memanggil untuk si kecil yang kutemukan sendirian di tengah lapangan, mengalami pertumbuhan yang agak lambat dibanding 3 saudara angkatnya. Pada awal ditemukan badannya sedikit lebih besar di banding Triple A, sehingga aku tidak perlu memberinya susu. Karena kekurangannya (aku sempat mengira dia buta dan itu alasanku memberinya nama seperti sebuah Telenovela yang menceritakan tentang gadis buta Esmeralda) dia selalu kalah dalam perebutan makanan. Namun satu hal yang membuatku terharu melihat Esmeralda, bahwa ia tak pantang menyerah, meski saat berjalan ia sering menabrak sesuatu yang ada di depannya. Di saat Triple A mulai “nakal” dengan naik-naik di atas meja, atau bahkan merayap diantara gorden, Esme begitu panggilannya cukup puas dengan bermain di atas permukaan lantai.

Bulan-bulan berlalu, mereka tumbuh semakin besar dan aktif. Melihat perkembangan mereka sungguh sesuatu yang tidak terbayar. Bukannya aku tidak punya kucing lain selain mereka. Ada 1 ekor pejantan dewasa yang juga menghuni rumah ini. Namanya Bumblebee Nyo Jr, Bee panggilannya. Fisiknya tentu saja kucing, namun bagiku dia lebih terlihat seperti adik bungsu. Dia tidak terlalu menyukai kehadiran bayi-bayi ini, secara naluri kebanyakan kucing memang sukar untuk menerima kehadiran kucing lain. Meski begitu dia tetap membiarkan mereka bermain di sekitarnya. Mungkin karena mereka berempat adalah betina, jadi Bee tidak menganggap mereka sebagai ancaman.

Sebagai penghuni baru, kehadiran Triple A dan Esmeralda cukup menyita perhatian. Aku membayangkan mereka adalah sebuah girlband yang beranggotakan 4 ekor kucing kecil bersuara emas yang pintar menari (terkecuali Esme, karena ia tidak selincah Triple A). Aku memahami dengan baik sifat dan karakter mereka sambil membayangkan mereka adalah manusia. Ku buatkan pakaian-pakaian lucu yang terbuat dari kain-kain bekas tak terpakai, sekedar untuk menunjang “aksi panggung” mereka atau saat sedang ingin mengambil gambar mereka dengan kamera digital yang ku punya.

Annisa AR

Annisa, dia adalah leader bagi Triple A feat Esemeralda, begitu aku menyebut girlband mereka. Annisa berbadan paling besar di antara yang lain, memiliki pose paling anggun jika di potret. Kesukaannya adalah sesuatu yang berkilau, salah satu benda yang disukainya adalah kalung emas yang ku pakai. Saat ku gendong selalu saja dia menarik-narik dan menggigiti kalungku. Dia juga satu-satunya yang ku pakaikan kalung khas kucing, dengan lonceng dan tali berwarna merah yang benar-benar cocok dengan warna bulu dan matanya.

Allena AR

Allena adalah kembaran dari Annisa, sekilas mereka benar-benar mirip namun jika diperhatikan Allena berbadan lebih langsing daripada saudara kembarnya Annisa. Bayangkan seorang anak perempuan yang tidak banyak bicara namun aktif secara fisik dan rasa ingin taunya besar, itu adalah Allena. Selain itu dia juga bisa dikatakan tomboy sekiranya dia adalah benar-benar anak manusia. Kemudian Affika, hanya ada satu kata yang bisa menggambarkan sifatnya. Childish, atau kekanak-kanakan, manja dan ingin selalu diperhatikan. Sampai usianya menginjak 6 bulan pun dia masih menganggap dirinya seperti bayi kucing yang baru lahir dan butuh menyusu 18 jam sehari. Tak bisa lepas dari botol minumnya, dia akan mencari-cari jari manusia untuk dijadikan pengganti dot botol. Dan Esmeralda, last bot not least dibalik kekurangannya dia memiliki keistimewaan tersendiri. Terlahir sebagai warna belang tiga, di punggungnya terdapat bentuk hati dengan warna coklat dan ditengah hati tersebut ada garis berwarna putih. Mirip dengan gambar hati yang retak. Ada sebuah guyonan tentang Esme, yaitu saat adik ku bilang bahwa ia telah dimasukkan dalam zona pertemanan oleh teman wanita yang di sukainya (semacam friendzoned). Dia mengatakan bahwa wajah Esme mengingatkannya pada Ekha.
“hahaha, gak salah nih, masa Ekha mirip Esme. Ya jelas cantikan Esme dong” kelakar ku
“iya, coba deh di liat-liat, wajahnya sam-sama tirus. Ekspresinya juga cantik” jawab adik ku tak mau kalah

Dan sejak saat itu, untuk menghibur dirinya sendiri, adik ku memanggilnya dengan sebutan Esme Ekha. Namun tidak ada kabar yang lebih menggembirakan lagi tentang Esme, selain bahwa ternyata dia tidaklah buta seperti yang aku kira selama ini. Dia hanyalah menderita Nystagmus, yaitu suatu kelainan mata dimana bola mata bergerak tak terkendali seperti bergetar. Dia tetap bisa melihat, dan suatu hari aku mendapatinya sedang melompat menaiki kursi meja makan. Bagi sebagian orang, tingkah laku kucing saat menaiki meja makan tentu bukan hal yang patut untuk di banggakan, tapi kejadian ini justru membuatku terharu. Esmeralda bisa beraktifitas layaknya kucing normal lainnya adalah suatu berkah yang luar biasa.

Affika AR

Oktober 2012, ku bawa Affika pergi jalan-jalan. Lebih tepatnya ke sebuah mall untuk mengikuti acara yang di selenggarakan oleh salah satu merk pakan kucing komersil. Keputusan ini di ambil karena tidak mungkin aku membawa keempatnya, maka ku putuskan untuk membawa Affika karena perangainya yang lebih kalem di banding saudaranya yang lain. Awalnya aku ragu, apakah pantas seekor kucing kampung mengikuti acara seperti itu ? Namun setelah sampai di sana, banyak orang yang bertanya padaku tentang kucing jenis apakah Affika ini, karena mereka melihat Affika tidak seperti kucing biasa, warna bulunya yang cream kecoklatan sepintas membuatnya terlihat seperti kucing ras. Namun setelah kuyakinkan mereka bahwa Affika dulunya hanya kucing kampung yang terlantar dan terbuang di parit mereka baru percaya. Mereka juga terheran-heran dengan kebiasaan lucu Affika yang suka minum dari botol susu, ngedot istilahnya. Susu bukan menjadi makanan utamanya saat ini, tapi kebiasaan menghisap dari botol masih dilakukan Affika sampai dia sudah sebesar ini. Bahkan jika botol (yang kini hanya berisi air putih) ini di ambil darinya, maka dia akan merengek-rengek meminta botol itu kembali, atau yang lebih lucunya dia akan mencari-cari jari manusia sebagai pengganti dotnya untuk dihisap ! Affika pun sempat jadi pusat perhatian di acara itu, yang jelas sekali terlihat bahwa para peserta kebanyakan membawa kucing ras. Tapi toh aku tetap bangga membawa Affika, dan ini pengalaman pertamaku membawa kucing untuk mengikuti kontes dan bertemu dengan sesama penyayang kucing lainnya di luar sana.

Namun takdir tak dapat dihindari. Di saat kita sedang lengah menikmati sinar mentari, di saat itulah seharusnya kita waspada akan awan mendung yang bisa saja datang tiba-tiba. Awal Januari, tepatnya 4 Januari 2013, kesedihan itu berawal. Kulihat salah seekor bayi-bayi ku yang tengah beranjak remaja sedang tidak nafsu makan. Affika, yang pada hari-hari biasa seperti mesin bulldozer yang menggiling makanan tanpa pilih-pilih, hari ini hanya makan beberapa butir dry food kesukaannya. Kuputuskan untuk mengganti makanannya dengan wet food dan ayam mentah, namun ternyata bukan kebosanan yang tengah melanda Affika, ada sesuatu yang tidak beres sedang terjadi padanya. Kuputuskan keesokan harinya ku bawa Affika menuju klinik hewat terdekat, setelah melihat gejala sakitnya yang semakin parah disertai muntah-muntah. Minggu pagi kupikir kondisinya semakin membaik setelah kemarin mendapatkan suntikan obat, namun malam harinya saat aku tengah membantu adik ku mengerjakan tugas, Affika semakin pasrah dengan penyakitnya, distemper. Aku tidak tega melihatnya, tapi adikku menyuruhku untuk tetap menemaninya di saat-saat kritisnya. Akhirnya dengan ditemani adik, aku melihat nafas Affika yang terakhir. Sedih tak terbayangkan, itu sudah pasti. Bagaimana tidak, aku yang sehari-hari mengurus keperluan mereka, mulai dari memberi makan, membersihkan kandang, memandikan mereka untuk yang pertama kalinya, mengajaknya bermain dan mengenalkan mereka pada kehidupan dalam rumah, harus menjadi orang yang terakhir kali melihat Affika saat dia pergi.

Triple A kini hanya tinggal si kembar Annisa Allena dan Esmeralda. Mereka terlihat begitu sedih saat melihat saudara mereka Affika di kuburkan. Seakan tidak percaya mengapa saudara yang sehari-hari bergaul dengan mereka, kini memilih untuk tertidur dalam tanah dan menjauh dari mereka. Berhari-hari setelahnya si kembar juga kehilangan nafsu makan, namun aku bersyukur mereka tidak menampakkan gejala penyakit yang sama dengan Affika. Esmeralda mengidap sariawan di bibir bagian bawahnya, membuatnya enggan untuk menyantap barang secuil makanan pun. Mereka memilih untuk tidur dan beristirahat selama kondisi mereka yang cenderung menurun. Akhirnya dengan keajaiban dan kehendak Tuhan mereka pulih dengan imunitas tubuh mereka yang didukung dengan suplemen vitamin yang kuberikan. Namun tetap saja, ada yang hilang dari Triple A. Dia yang selalu membangunkanku dengan tindakan terkonyol yang pernah kulihat. Dia yang menggigit jariku dan menghisapnya layaknya sebuah dot botol susu. Dia yang berbadan lentur dan satu-satunya dari Triple A yang bisa melakukan split di lantai secara tiba-tiba saat dia tengah melenggok berjalan. Dia yang mempunyai warna cream aneh yang belum pernah kulihat sebelumnya.

1 bulan setelah kepergian Affika, iseng-iseng kukirim foto saat aku berpose dengan Annisa, dalam rangka kontes yang diselenggarakan salah satu fanpage pecinta kucing di Facebook. Dan Annisa mendapat predikat untuk best cat’s expression. Seperti yang kuduga, mereka tumbuh menjadi kucing yang cantik, sama seperti namanya. Jauh dari kesan pertama saat bertemu denganku, kurus dengan bulu yang lusuh dan tidak menampakkan kemilaunya. Dan pada saat-saat tertentu mereka terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu. Mungkin mereka memikirkan kemana perginya Affika ? apakah Affika sudah tidak mau bermain bersama mereka ? apa yang dilakukan Affika sekarang ? Aku berusaha untuk meyakinkan mereka bahwa Affika sedang baik-baik saja di sana, di suatu tempat yang bernama Rainbow Bridge. Batas dunia ini dengan Rainbow Bridge hanya tipis, garis kematian. Saat garis itu terbuka, maka tidak ada lagi penghalang antara kalian dengan Affika. Semua makhluk pasti akan mati, Annisa Allena atau Esmeralda bahkan aku sendiri pun akan mati. Tapi sebelum kematian itu datang, kalian harus menikmati hidup ini bersamaku. Masih banyak kejadian-kejadian yang harus kita lewati sebelum garis itu terbuka. Masih banyak orang-orang yang harus diyakinkan bahwa memungut kucing terlantar akan mengubah hidup mereka, dan itu tidak buruk. Bersama kita tulis cerita kita sendiri, Annisa-Allena-Esmeralda, because you’re my precious.

0 komentar:

Posting Komentar

 

♥ Baineth's diary Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea